Wednesday, July 15, 2009

Wednesday, September 17, 2008

Menyempurnakan Ikhlas

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, jadi meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan Allah datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan saja tiba-tiba saja ibadahnya meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusyu tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah manikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarub kepada Allah sebagai bentuk ingkapan rasa syukur. Ketika berwudhu, misalnya ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat. Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Qur’an kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidak-ikhlasannya ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.

Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqomah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan Allah. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikan adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak ? Orang-orang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus. Berkaitan dengan niat ini seorang ulama ahli hikmah berkata, “Terkadang amal yang sedikit menjadi ba nyak oleh sebab niat, dan sebaliknya kadangkala amal yang banyak menjadi sedikit hasilnya, juga karena niat !”.
Pantaslah bila Yahya bin Abi Katsir menganjurkan kepada kita untuk senantiasa mempelajari dan mengetahui akan pentingnya niat ini dalam beramal, dia berkata, “Pelajarilah niat, karena ia lebih menyampaikan kepada tujuan ketimbang amal”.
Rasulullah SAW sendiri menasihatkan kepada kita, “Bahwa sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya, dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa yang niat hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang ditujunya.” (H.R Bukhari)

Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada Allah saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, “Bismillahirrahmanirrahiim, ya Allah semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan”. Lisannya yang bening senantiasa memuji Allah atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada Allah. Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh (maaf !) pantat dikursi. Tidak usah heran bila suatu saat Allah memberi peringatan dengan sakit ambeien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang Allah ‘karuniakan’ kepada kita.
Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa Allah-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya. Kalau membeli sesuatu, diperhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena Allah. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena Allah. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada 3 jenis, 1) Kendaraan untuk Alah 2) Kendaraan untuk syetan 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya ? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk Allah. Tapi kalau sekedar untuk pamer, riya, ujub maka inilah kendaraan untuk syetan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misalkan kuda dipelihara, dikembang-biakan dipakai tanpa niat, maka inilah kendaraan untuk dirinya sendiri. Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena Allah. Karenanya bermohon saja kepada Allah, “Ya Allah saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah”. Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka bensinnya, tempat duduknya, shock breaker-nya dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya Allah. sebaliknya jika digunakan untuk maksiat, maka kita jugalah yang akan menanggung balasan dosanya.

Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkannya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat, misalkan, hati sudah bulat meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, “Ya Allah saya ingin tahajud jam 03.30 ya Allah”. Weker pun diputar, istri diberitahu. Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud. Sayangnya ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena masih kebagian pahalanya. Bagi yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh Allah, maka kalau ia sudah bertekad, Allah pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin Allah tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras tenaga. Allah Mahatahu apa yang akan terjadi, Allah juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya Allah-lah yang menidurkan kita dengan pulas.

Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah.

(Oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar - Ketua Ponpes Daarut-Tauhiid - Bandung)

http://abuharits.patra.net.id/id96.htm

Abdullah Bin Abbas

Ketika bocah itu memasuki usia tamyiz, sekitar 6 hingga 7 tahun, dia tinggal di rumah Rasulullah. Hubungan antara keduanya seperti adik dan kakak yang saling mengasihi. Dia menyediakan air wudhu untuk Nabi SAW. Tak jarang, anak itu ikut sholat di belakang Rasulullah. Jika Beliau bepergian, dia membonceng di belakang. Hebatnya, anak itu dapat menyimpan dalam hati dan pikirannya segala peristiwa yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya tanpa perlu alat tulis. Siapakah sosok si anak itu ? Dia adalah Abdullah bin Abbas, putra paman Nabi SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Ketika Rasulullah SAW wafat, dia baru berumur 13 tahun. Di usia ambang remaja, dia sudah menunjukkan kelebihan dengan kemampuan menghafal 1.660 hadist yang diterimanya langsung dari Nabi SAW. Hadist-hadist itu dicatat oleh Bukhori dan Muslim dalam kitab Shahih. Sikap taqwanya patut diacungi jempol. Simak kebiasaannya puasa di siang hari dan menegakkan shalat pada malam hari. Beristighfar waktu sahur sambil meneteskan air mata karena takut akan siksa Allah.

Ibnu Abbas, demikian sapaan akrabnya, mengisahkan peristiwa yang selalu membekas dalam benaknya ketika bersama Nabi SAW. “Pada suatu ketika Rasulullah SAW hendak sholat, memberi isyarat kepadaku supaya berdiri di sampingnya, tapi, aku berdiri di belakang Beliau. Setelah selesai sholat, beliau menoleh kepadaku seraya bertanya, “Mengapa engkau tidak berdiri disampingku ?”. Ibnu Abbas menjawab, “Anda sangat tinggi dalam pandanganku dan sangat mulia untukku, bagaimana aku berdiri di samping Anda.” Maka Rasulullah menadahkan tangannya, lalu berdoa, “Ya Allah, berilah dia hikmah.” Allah memperkenankan doa Rasulullah tersebut. Dia memberi cucu Hasyim tersebut hikmah, melebihi hikmah para ahli hikmah yang besar. Namun, sahabat Rasulullah yang satu ini tak hanya berpangku tangan meski sudah memiliki bekal berupa doa langsung dari Nabi SAW. Ia tak kenal lelah menuntut ilmu sehingga mencengangkan ulama-ulama besar, Masruq bin Ajda’, orang besar ulama Tabi’in berkata, “Paras Ibnu Abbas sangat elok. Bila dia berbicara sangat fasih. Bila menyampaikan hadits, dia sangat ahli.”

Setelah mumpuni, Ibnu Abbas beralih menjadi guru. Rumahnya berubah menjadi Jami’ ah (Universitas) bagi kaum muslimin. Rumahnya selalu dipenuhi orang yang antri untuk belajar ilmu apa saja. “Siapa yang hendak belajar Tafsir Al-Quran dan Ta’ wilnya suruhlah mereka masuk ?”, Ibnu Abbas bertanya. Maka bergantian bagi mereka yang ingin belajar masalah fiqh, ilmu faraidh, sastra Arab, dan seterusnya. Kemudian Ibnu Abbas membuat jadwal pelajaran guna mencegah orang berdesak-desakkan antri untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikannya. Ada hari yang khusus membahas Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh, Ilmu Peperangan (Sejarah peperangan Rasulullah) atau strategi perang, Ilmu Syi’ir, dan Sastra Arab.

Bila ada seseorang yang ingin menyampaikan sebuah hadist yang diperolehnya dari seorang sahabat Rasulullah, maka Ibnu Abbas ringan kakinya untuk mendatanginya. Bila orang itu masih tidur, ia pun rela untuk menunggunya sampai bangun. “Aku bentangkan sorbanku di dekat tangga rumahnya dan aku duduk di situ menunggu dia bangun. Sementara itu angin bertiup memenuhi tubuhku dengan debu tanah.” Kata Ibnu Abbas. Ilmu itu harus didatangi, bukan ilmu yang harus mendatangi. Ibnu Abbas rendah hati dalam menuntut ilmu. Tetapi dia menghormati derajat ulama. Pada suatu hari Zaid bin Tsabit, penulis wahyu dan Ketua pengadilan Madinah bidang Fiqh, Qiraah, dan Faraidh, mendapat kesulitan karena hewan yang ditungganginya bertingkah. Lalu Abdullah bin Abbas berdiri di hadapannya seperti seorang hamba di hadapan majikannya. Ditahannya hewan kendaraan Zaid bin Tsabit dan dipegangnya kendalinya. Kata Zaid, “Biarkan saja, wahai anak paman Rasulullah ?”. Jawab Ibnu Abbas,”Beginilah caranya kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama kami.” Kata Zaid bin Tsabit, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya !”, Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid, lalu diciumi oleh Zaid.
“Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah menghormati keluarga Nabi kami” ,kata Zaid. Ibnu Abbas tidak termasuk orang-orang yang hanya pandai berkata tetapi tidak berbuat. Dia senantiasa puasa siang hari dan sholat malam hari. Abdullah bin Mulaikah bercerita, “saya pernah menemani Ibnu Abbas dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah. Ketika kami berhenti di suatu tempat, dia bangun tengah malam, sementara yang lain-lain tidur karena lelah. Saya pernah pula melihatnya pada suatu malam membaca ayat 19 Surah Qaf berulang-ulang sambil menangis hingga terbit fajar. Dia senantiasa menangis tengah malam karena takut akan siksa Allah sehingga air mata membasahi kedua pipinya”.

Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa diajak bermusyawarah oleh Khalifah Al Rasyidah. Khalifah Umar bin Khatab memujinya “Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.” Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan yang rumit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang muda belia. Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi bagi Ibnu Abbas dan Khalifah sendiri duduk ditempat yang lebih rendah seraya katanya, “Anda lebih berbobot dari pada kami.” Sampai suatu ketika ketika Khalifah Umar mendapat kritik karena perlakuan yang diberikan kepada Ibnu Abbas melebihi daripada perlakuan kepada ulama-ulama yang tua-tua. “Dia lebih banyak belajar, dan berhati terang,” kata Khalifah Umar menanggapi kritik itu.
Meski banyak dimintai nasehat oleh khalifah, toh Ibnu Abbas tidak melupakan kewa jibannya terhadap orang-orang awam. Dibentuklah majelis-majelis Wa’azh dan Tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara pengajarannya dia berkata kepada orang-orang yang berdosa , “Wahai orang yang berbuat dosa ! Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu kepada orang lain padahal engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya malu itu sendiri adalah juga dosa.”

Selain alim lagi cerdas, Ibnu Abbas juga lihai berdiplomasi. Ketika sebagian sahabat memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Thalib, Abdullah bin Abbas minta ijin Khalifah Ali untuk mendatangi mereka. Kata Ali, “Saya khawatir resiko yang mungkin engkau terima dari mereka.” Jawab Ibnu Abbas, “Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.” Maka Ibnu Abbas pun berangkat menemui mereka, lalu bertanya :”Mengapa tuan-tuan membenci Khalifah ?”. Mereka menjawab, “Pertama, karena Khalifah bertahkim (mengangkat hakim) tentang urusan agama Allah, kedua, berperang tapi tidak menawan wanita, dan ketiga, Ali menanggalkan gelar “Amirul Mukminin padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya.”

Untuk persoalan pertama, Ibnu Abbas menjawabnya dengan membaca firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu…”(Al Maidah: 95)
“Saya bersumpah dengan tuan-tuan menyebut nama Allah; apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ?”. Maka merekapun menjawab, “Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian diantara kita yang lebih penting.” Kata Ibnu Abbas, “Marilah kita keluar dari pearsoalan ini.” Dan mereka pun kemudian menjawab, “Baiklah, kami tinggalkan masalah itu.”

Ibnu Abbas melanjutkan, “Masalah kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para wanita seperti terjadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah tuan-tuan memperhatikan Aisyah, lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita tawanan yang lain. Jika tuan-tuan menjawab, ‘dia bukan ibu kami’, maka tuan tuan telah berlaku kafir . Allah SWT berfirman :”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka”. (Al Ahzab : 6). Lalu Ibnu Abbas bertanya, “Pilih mana yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak ?”. Karena itu, kata Ibnu Abbas selanjutnya, “Marilah kita tinggalkan persoalan ini !”. Hasilnya, mereka pun setuju.
Selanjutnya, Ibnu Abbas berkata, “Ali menanggalkan gelar “Amirul mukminin” dari dirinya. Sesungguhnya ketika Perjanjian Hudaibiyah ditanda tangani, mula-mula Rasulullah menyuruh menulis “Inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah.” Lalu kata kaum musyrikin, “Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena itu tuliskan saja nama “Muhammad bin Abdullah”. Rasulullah setuju.
“Bagaimana ?”, Tanya Ibnu Abbas, “tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar Amirul Mukminin itu kita tinggalkan saja ?”. Akhirnya, dengan penjelasan ketiga ini meraka pun menjawab, “Ya Allah, kami setuju.”
Hasil pertemuan Ibnu Abbas dengan kaum Khawarij berikut kepandaian Ibnu Abbas berargumentasi menyebabkan 20.000 orang yang membenci Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali, dan hanya tinggal seribu orang saja yang masih memusuhi Ali.

Kemasyhuran Ibnu Abbas terbukti kembali, yakni ketika musim haji, Khalifah Mu’a wiyah bin Abi Sufyan pergi haji. Bersamaan dengan Khalifah, pergi pula Abdullah bin Abbas, Khalifah Mu’awiyah diiringi oleh pasukan pengawal kerajaan. Sedang Abdullah bin Abbas diiringi oleh murid-muridnya yang berjumlah lebih banyak dari pada pengiring Khalifah.
Usia Abdullah bin Abbas mencapai tujuh puluh satu tahun. Selama itu dia telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah dan taqwa. Ketika meninggal, Muhammad bin Hanfiyah turut melakukan sholat atas jenazahnya bersama-sama dengan para sahabat, dan para pemuka Tabi’in.

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhoi-Nya. Masuklah ke dalam kelompok jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.”
(Al-Fajr : 27-30). Wallahu ‘alam bishshowab.

[Artikel Lainnya di Bank Data Majalah, Online sejak 2 Mei 2002/19 Safar 1423 H]
http://www.fosmil.org/adzan/09.kisah/kis07.html
note : Al hubb fillah wa lillah, ikatlah ilmu dengan menuliskan dan mengamalkannya.

Tuesday, September 2, 2008

Kiat Mengikis Dengki

Sifat dengki bukan penyakit yang tak bisa diobati. Bak penyakit kanker, untuk menghilangkannya tak bisa dipotong ujungnya saja. Ia harus dipangkas dan dikikis sampai ke akar-akarnya. Sumber penyakit dengki adalah hati. Karenanya, cara ampuh untuk mengikis dengki adalah dengan membersihkan hati. Di antaranya ada beberapa hal yang harus dilakukan:

MEMUPUK KEIKHLASAN
Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah bersabda: " Ada 3 hal yang bisa menyebabkan hati seorang Mukmin tidak akan dengki, yaitu: ikhlas beramal, berani menasehati pemimpin, tetap berjamaah dalam barisan kaum Muslimin karena doa mereka akan melindungi siapa yang ada di belakangnya (HR Ahmad, 4/80, Ibnu Majah 230, al-Hakim 1/86-87).
Keikhlasan ini bisa menghapus dendam,iri dan berbagai penyakit hati lainnya. Sifat dengki sejajar terbalik dengan ikhlas. Semakin tinggi ikhlas seseorang, kian rendahlah kedengkiannya.


MEMBACA AL-QUR'AN
Al-Qur'an adalah obat. Membaca Al-Qur'an berarti membuka tirai penghalang dari rahmat Allah. Orang yang tidak membaca Al-Qur'an berarti menutup dirinya dari rahmat Allah dan membiarkan hatinya berkarat dengan tumpukan penyakit. Allah berfirman: "Dan Kami turunkan dari al-Qur'an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang yang beriman", (Q.S Al-Isra':82)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Katakanlah, al-Qur'an itu adalah petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S Fushshilat:44). Allah juga menegaskan: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb-Mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada" (Q.S Yunus: 57).


BERSEDEKAH
Sedekah seperti penebus. Ia merupakan penyuci jiwa dan pembersih hatri yang berkarat. Karenanya, ketika memerintahkan untuk mengambil harta orang-orang kaya sebagai zakat, Allah langsung mempertegas tujuannya. Yaitu, membersihkan dan menyucikan jiwa mereka. Allah berfirman: "Ambilah zakat dan harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan meyucikan mereka." (at-Taubah: 103)
Karena itu, sebenarnya yang membutuhkan pelaksanaan zakat bukan hanya fakir miskin atau para mustahik (yang berhak menerima zakat). tapi juga orang-orang kaya. Sulit dihindari, perkara-perkara syubhat (meragukan) akan selalu menghampiri perjalanan hidup seseorang. Kekayaan, jabatan, dan ketenaran adalah wilayah-wilayah yang selalu diwarnai perkara syubhat. Karenanya, penyucian zakat merupakan cara penyucian jiwa dan penghapus syubhat itu.
Namun, tak boleh juga dipahami bahwa bersedekah merupakan satu-satunya cara menghapus dosa. Sehingga, para koruptor dan para pemakan uang rakyat, seenaknya cuci diri dengan hanya membangun masjid atau membuka yayasan yatim piatu. Taubat tak cukup bisa diselesaikan dengan hanya bersedekah, lalu setelah itu melakukan dosa lagi.


MENYEBARKAN SALAM
Abu hurairah meriwayatkan Bahwa Rasulullah SAW bersabda: " Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya klian tidak akn masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak dikatakan beriman (dengan sempurna) sebelum kalian mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu perbauatan yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian" (HR Muslim).
Menurut Ibnu Abdil Bar, hadits ini menunjukkan bhwa salah satu keutamaan mengucapkan salam adalah dapat menghilangkan rasa saling membenci (diantaranya dengki) dan menciptakan rasa saling menyayangi.


BERDOA
Cara inilah yang yang ditempuh oleh orang-orang shalih sebagiaman diabadiakn dalam Al-Quran, " Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriaman. Ya Rabb kami, sesungguhny Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" (Q.S Al-Hasyr: 10)
Dengan memperhatikan hal tersebut, Insya Allah kita bisa menghapus dengki yang merupakan penyebab rusaknya jalinan persaudaraan umat Islam. Seiring lenyapnya kedengkian dalam pribadi kaum muslimin, rasa persaudaraan akan semakin tumbuh, berkembang dan membuahkan karya berguna bagi umat.

Wednesday, August 20, 2008

Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan

Selain memerintah shaum, dalam menyambut menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan. Inilah ‘azimat’ Nabi tatkala memasuki Ramadhan.

Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-NYA. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

sumber: Hidayatullah.com

Tujuan Hidup

Diambil dari Bab terakhir buku Zikrul Maut karya Abdullah Gymnastiar, MQS Publishing

Kita hadir di dunia ini minimal memiliki 3 misi. Pertama, sebagai hamba Alloh. Oleh karena itu, jadikanlah semua aktivitas kita sebagai sarana ibadah kepada Alloh SWT. Kegelisahan timbul karena kita kurang ilmu, karena terlalu cinta dunia, juga karena sangat enggan beribadah. Padahal, Alloh mendesain ritme hidup kita untuk ibadah. Karir kehidupan kita pun bisa optimal bila kita menyempurnakan ibadah.

Kedua, sebagai khalifah. Berkiprahlah di dunia ini dengan karya terbaik. Sebagai khalifah, selain mensejahterakan diri, kita juga harus mensejahterakan orang lain. Kemudian interksi kita di dunia ini selain mensejahterakan secara lahir, juga harus bisa menjadi cahaya secara bathin. Artinya, kita harus mengeksploitir lahir bathin agar bisa melakukan dan mempersembahkan karya terbaik.

Ketiga, sebagai pendakwah. Selain niat beribadah dengan ikhlas, kita juga harus menjadi orang yang bisa menjadi contoh kebaikan, pembawa misi kemuliaan.

Ingat, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi yang lain. Oleh karena itu, kalau kita ingin mengetahui tingkat keberuntungan kita, lihatlah sampai sejauh mana kita berjuang sekuat tenaga dalam hidup ini mengeksploitir tenaga, pikiran, dan waktu kita untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Kalau ini menjadi tata nilai kita, hidup kita akan nikmat.

Rezeki kita yang sesungguhnya adalah yang kita tabung dan kita nafkahkan di jalan Alloh, Carilah rezeki setiap hari dengan niat agar makin banyak orang yang lapar bisa makan dengan keringat kita. Makin banyak orang yang tidak berpakaian bisa hangat dengan jerih payah kita. Makin banyak orang yang tidak berilmu bisa belajar dengan tetesan keringat kita. Bila semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Alloh semata, Insya Alloh akan menjadi amal. Inilah misi hidup kita.

Kemudian, tingkatkan profesionalisme kita, hingga kita tidak hanya memberikan manfaat dengan menyuplai harta, tapi juga bisa menyuplai ilmu, wawasan, dan pengalaman bagi orang lain dengan kemuliaan.

Andai hidup kita yang sekali-kalinya di dunia ini bagai cahaya matahari yang memancar, menerangi orang-orang yang berada dalam kegelapan, menumbuhkan bibit-bibit kemuliaan, dan menyegarkan yang layu oleh terjangan kehidupan, maka kita akan menjadi orang yang terus hidup kebaikannya. Inilah kesuksesan yang hakiki.

Orang yang sukses itu bukan orang yang dipuji oleh manusia karena harta kekayaan, gelar, pangkat atau jabatannya. Itu kecil, itu hanyalah topeng dan aksesoris duniawi belaka.

Aksesoris duniawi apapun yang kita miliki, itu hanyalah sekedar tempelan sederhana karena aset termahal kita adalah kematangan pribadi kita. Pensiun tidak akan menjadi masalah bila diri kita jauh lebih berkualitas daripada pangkat kita. Berbeda dengan orang yang ha! nya sibuk bersembunyi di balik topeng, maka pensiun, dimutasi, atau bertambah tua bisa menimbulkan kegelisahan tiada tara karena memang itulah tempat persembunyiannya. Pensiun atau diambil pangkat dan jabatan justru akan memperjelas isi diri kita sesungguhnya.

Kemuliaan hakiki bagi kita adalah sejauh mana hidup kita mempunyai makna dan nilai yang dahsyat bagi peradaban dan kesejahteraan umat manusia, yang didasari karena Alloh semata. Karena itu, latihlah diri kita bagaimana agar hidup yang sekali-kalinya ini mempunyai nilai manfaat yang sebesar-besarnya.

Percayalah saudara-saudaraku sekalian, kita tidak akan selamat dan berbahagia dengan apa yang kita kumpulkan, tapi kita akan jauh lebih berbahagia bila kita bisa menafkahkan apa yang Alloh titipkan pada kita. Jaminan Alloh tidak datang kepada orang yang kikir, tapi datang kepada ahli sedekah baik lahir maupun batin.

Semoga Alloh mengaruniakan kepada kita kearifan demi kearifan agar kekayaan termahal dalam hidup ! kita, yakni perubahan diri kita, menjadi semakin matang, dewasa, penuh manfaat, tidak cinta dunia, cemerlang dengan keikhlasan, meninggi dengan kerendahan hati, dan semakin mempesona dengan kemuliaan akhlak.

Marilah kita menjadi pribadi yang baru yang mempunyai orientasi sebagai ahli ibadah, sebagai khalifah yang berkarya dan sebagai contoh kebaikan. Kita tinggalkan dunia ini setelah mempersembahkan karya terbaik kita. Kita sambut saat kematian kita esok lusa dengan karya terbaik kita yang bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat nanti.

Bila Diri Sempit Hati

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita hati yang lapang, jernih, karena ternyata berat sekali menghadapi hidup dengan hati yang sempit. Hati yang lapang dapat diibaratkan sebuah lapangan yang luas membentang, walaupun ada anjing, ular, kaajengking, dan ada aneka binatang buas lainnya, pastilah lapangan akan tetap luas.

Aneka binatang buas yang ada malah semakin nampak kecil dibandingkan luas lapangan. Sebaliknya, hati yang sempit dapat diibaratkan ketika kita berada di sebuah kamar mandi yang sempit, baru berdua dengan tikus saja, pasti jadi masalah.

Belum lagi jika dimasukan anjing, singa atau harimau yang sedang lapar, pastikanlah akan bermasalah lagi. Entah mengapa kita sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-hari kita menjadi hari-hari yang tidak nyaman, dan membuat pikiran kita jadi keruh, penuh rencana-rencana buruk.

Waktu demi waktu yang dilalui seringkali diwarnai kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian.

Bahkan lagi dendam kesumat, capek rasanya, jelang tidur, otak berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan kedendaman yang ada dilubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan kepada yang dibencinya.

Hari-harinya adalah hari uring-uringan makan tak enal, tidur tak nyenyak dikarenakan seluruh kosentrasi dan energinya difokuskan untuk memuaskan rasa bencinya ini.

Saudaraku, sungguh alangkah menderitanya orang-orang yang disiksa oleh kesempitan hati.

Dia kan mudah sekali tersinggung, dan jika sudah tersinggung seakan-akan tidak termaafkan, kecuali sudah terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya.

Seringkali kita mendengar cerita orang-orang yang dililit derita akibat rasa bencinya. Padahal ternyata yang dicontohkan para rasul, dan nabi serta para ulama yang ikhlas, orang-orang yang berjiwa besar, bukanlah mencontohkan dendam, membenci atau busuk hati.

Mereka justru contoh pribadi-pribadi yang kokoh bagai tembok tegar, sama sekali tidak terpancing oleh caci maki, cemooh, benci, dendam, dan perilaku-perilaku rendah lainnya.

Sungguh pribadinya, bagai pohon yang akarnya menghujam ke dalam tanah, begitu kokoh dan kuat, hingga diterpa badai dan diterjang topan sekalipun tetap mantap tidak bergeming.

Wallahu a’lam.